Dunia, adakah orang yang bisa memprediksi apa yang akan kita alami kemarin, esok, dan sekarang ?
Sebuah perjalanan dalam mencari jati diri kadang mengalami berbagai perdebatan itu yang dialami oleh Wira. Ya dia Wira seorang anak yang akan menjadi sorotan dalam cerita ini.
Perkenalkan aku adalah Wira, sosok anak muda yang terlahir dari keluarga yang bisa dibilang tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin. Anak dari perkawinan seorang Ibu bernama Winarti dan Ayah bernama Raja terlahir di sebuah Desa yang sangat jauh dari peradaban Ibu Kota. Berlatar belakang pendidikan yang sangat baik bisa menyelesaikan pendidikan SMA untuk seorang anak Desa dimana di usia Wira tersebut banyak sekali yang tidak banyak yang memperdulikan pendidikan, bahkan se-tamat SMP sudah banyak yang bekerja.
Dari hobi yang di geluti Wira bertentangan dengan keinginan oleh kedua orangtua-nya, kala itu orang yang memiliki hobi di bidang Seni itu dianggap tidak memiliki masa depan yang cerah cenderung dikucilkan karena tidak akan memiliki penghasilan yang tetap seperti apa yang saat ini dilakukan oleh orang di Desa-nya. Memang hobi adalah panggilan hati se-seorang tidak semua orang bisa mengatur, itulah yang dialami Wira saat ini.
"Nak kesini dulu, ibu mau bicara dengan-mu," ucap Ibu.
"iya bu, ada apa bu ?" balas Wira.
"Ibu dan Ayah ingin kamu menjadi orang yang bisa membantu mengangkat derajat keluarga, kamu mau Kuliah dimana sebenarnya nak ?" ucap Ibu kembali.
"Aku ingin lanjut kuliah di bidang seni bu," seru Wira dengan penuh ke yakinan.
"Kamu tuh mau jadi apa nak ? Kamu tau kan kuliah di bidang seni itu sangat mahal dan belum tentu juga akan bisa menghasilkan apa-apa," ucap Ayah di sela-sela pembicaraan Ibu dan Wira
"Kondisi keuangan keluarga kita juga sedang tidak stabil nak, kamu tau ayah-mu baru saja kena pengurangan pegawai di kantor nya akibat pandemic Corona ini," ucap Ibu.
"Sudah pikirkan jurusan lain saja nak yang mudah untuk mendapatkan pekerjaan kedepannya," ucap Ayah memberikan alternatif.
"Tidak ayah, aku sudah membulatkan tekad untuk kuliah di bidang seni yang aku idamkan," lanjut Wira dengan keteguhannya.
Pemikiran yang kolot terkadang tak memandang seperti apa yang akan terjadi kedepannya, bahkan lebih menghakimi apa yang terlihat hari ini. Banyak pepatah mengatakan orang tidak boleh menilai hasil seseorang tanpa melihat proses yang dia alami, oh iya memang benar kebanyakan orang itu hanya melihat sesuatu dari apa yang akan dihasilkan atau sesuatu yang telah terlihat hasilnya, wah miris sekali di zaman yang sudah modern ini masih banyak orang yang masih memiliki pemikiran sempit seperti itu.
(*Point Of View Wira*)
Oh iya aku memiliki teman yang memiliki hobi sama seperti aku, dia Raras. Berbeda dengan aku nasib Raras tidak beruntung untuk menyelesaikan pendidikan di bangku SMA, tapi jangan salah kalau ketertarikan seni yang di miliki oleh dia tidak kalah dengan aku, bahkan kami berdua pernah melakukan penggalangan dana untuk acara ulang tahun Sekolah kami dengan menjual sebuah karya pahat dan lukis hasil kolaborasi kami berdua. Namun sangat di sayangkan sekali aku harus pergi dari desa untuk memulai sebuah perjalanan menggapai masa depan, sangat menyesal sekali harus berpisah dengan Raras teman semasa kecil-ku yang memiliki hobi yang sama dan satu satu nya orang yang bisa menerima hobi aku ini.
Sebuah perkataan yang mengejutkan dari raras bahwa dia akan menyusul kuliah dibidang yang sama dengan aku, wah bagaimana bisa dia akan menyusul kuliah sedangkan dia tidak melanjutkan SMA, ah aku tidak boleh seperti itu mungkin suatu saat nanti dia akan melanjutkan pendidikan terlebih dahulu di jenjang SMA sebelum menyusul aku kuliah di kota.
"Aku titip ayah dan ibu ya ras sama kamu," ucap wira.
"Iya wir, aku bakal jagain ibu dan ayah kamu seperti orangtua-ku sendiri," balas Raras.
"Besok aku akan berangkat ke kota, dan memulai perjalanan untuk masa depan aku Ras," lanjut Wira dengan berat hati.
Ditengah percakapan Raras melamun.
"Hey kok melamun sih, sedih yaa aku bakal meninggalkan kamu," ucap Wira memecah suasana.
"Yeee siapa juga yang sedih, pede banget yaa kamu," balas Raras penuh kesal.
Aku sangat menikmati pertemuan sore yang menjadi salah satu pertemuan terakhir sementara antara aku dan Raras, karena aku yakin suatu saat kita bisa kembali berkolaborasi untuk menciptakan karya karya yang sangat luar biasa.
Esoknya aku melakukan perjalanan dengan menggunakan Kereta Api, selama di perjalanan tak habis habis nya aku memikirkan ayah dan ibu yang aku tinggalkan dengan rasa bersalah karena sempat bertengkar sebelum keberangkatan aku ke kota.
(*Sesampai di Kota*)
Saat itu aku sampai tidak terlalu siang masih di jam orang-orang melakukan perjalanan untuk mengais rezeki di bangunan beton Ibu Kota, hampir setengah hari aku keliling untuk mencari kosan sekitaran kampus yang nanti akan menjadi tempat menimba ilmu selama 4 Tahun kedepan. Iya lupa aku memberi tahu kalau kampus tempat menimba ilmu nanti berada di pusat kota.
Singkat cerita aku sudah mendapatkan kosan yang sesuai dengan isi dompet aku untuk sementara ini, ya lumayan lokasi dekat dengan kampus dan suasana kosan rindang karena sekitar kosan aku ada beberapa pohon mangga besar yang membuat lebih adem saat siang hari.
Kenalkan dua teman kosan-ku, Ridwan mahasiswa tingkat dua bisa dibilang dia adalah senior yang akan menempel terus pada angkatan aku nih, satu nya lagi bernama Asrul mahasiswa tingkat satu sama seperti aku dan berasal dari pulau seberang. Ridwan sebagai senior dia merasa senang bahwa bisa satu kosan dengan dua junior nya.
"Kalau di kosan jangan ngomongin masalah kampus ya." ucap Ridwan (menjelaskan aturan di kosan).
"Lah kalau mau ngerjain tugas gimana dong ?," sahut Asrul.
"Iya bener tuh bang," ucap Aku menegaskan.
"Ya kalau tugas lu pada atur dah gimana baik-nya, pokok-nya masalah di kampus jangan di bawa-bawa atau di omongi di kosan," tegas Ridwan.
"Iyaaa deh bang," sahut Aku dan Asrul.
Ya mungkin bang Ridwan tidak mau lelah juga di kosan, karena kampus kami terkenal dengan banyak sekali kegiatan di kampus mulai dari akadamik, non akademik, bahkan Organisasi, senioritas di kampus kami sangat kental jadi yaa bagi mahasiswa tingkat satu dan dua belum bisa terbebas dari pengawasan para senior tingkat tiga dan akhir.
(Mungkin sampai di sini dulu nanti aku lanjut lagi ya).
0 Komentar